Empat Pulau "Diambil" Sumut, Tgk. Safii eks. Gubernur GAM Geram dan Bersiap Ambil Langkah Ekstrem
ACEH BARAT - Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 memantik amarah warga Aceh Singkil. Dalam keputusan itu, empat pulau yang berada di perairan Aceh yakni Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek, ditetapkan masuk ke wilayah administratif Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
Tgk. Safii eks. Gubernur GAM Aceh Barat bereaksi keras, bahkan menyatakan siap menduduki keempat pulau tersebut jika pemerintah pusat tak segera mencabut keputusan kontroversial itu. “Ini bukan sekadar persoalan administrasi. Ini soal harga diri dan martabat Aceh.!” Ujarnya.
Menurut Tgk. Safii eks. Gubernur GAM Aceh Barat, keputusan Mendagri dinilai mencederai semangat perdamaian Aceh serta bertentangan dengan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), khususnya pasal yang mengatur batas wilayah berdasarkan peta per 1 Juli 1956. “Peta 1956 adalah bagian dari kesepakatan damai Aceh. Ini janji negara yang tidak boleh diingkari. Kalau pusat tetap diam, kami akan bergerak,” tambahnya.
Keresahan serupa juga datang dari Wali Nanggroe Aceh, Paduka Yang Mulia Tgk. Malik Mahmud Alhaytar. Dalam pernyataannya di Banda Aceh pada 28 Mei lalu, Malik Mahmud memperingatkan agar pemerintah tidak bermain api dengan keputusan sepihak yang berpotensi merusak perdamaian. “Aceh sudah lelah berperang. Jangan rusak kedamaian yang dibangun dengan darah dan air mata hanya karena keputusan yang mengabaikan sejarah,” ucapnya tegas.
Masalah ini makin pelik dengan munculnya klaim adat dari pihak keluarga bangsawan Aceh. Teuku Rusli Hasan, ahli waris dari Teuku Raja Udah, mengaku memiliki dokumen hukum yang sah atas kepemilikan empat pulau itu. “Kami punya SK resmi dari Kepala Inspeksi Agraria Daerah Istimewa Atjeh tahun 1965. Ini bukan klaim kosong,” ujar Teuku Rusli sambil menunjukkan dokumen yang memperkuat klaimnya.
Hingga saat ini, belum ada tanggapan resmi dari pemerintah pusat atas desakan yang datang dari Aceh. Namun tekanan dari masyarakat, tokoh adat, dan mantan pejuang Aceh semakin menguat. Mereka menuntut agar pusat segera membuka ruang dialog dan meninjau ulang kebijakan yang dinilai sembrono ini agar api lama tak kembali membara di Tanah Rencong.**Jr.
Komentar
Posting Komentar